Rabu, 15 April 2009

Siapakah Syaikh Shalah Syahadah

Nama lengkapnya Shalahuddin Mustafa Muhammad Ali Syahadah, berasal dari kota Yafa, tepatnya dia lahir di Beit Hanun, utara Jalur Gaza di kamp pengungsi asy Syathi’ pada tanggal 24 Februari 1952. Keluarganya eksodus ke Jalur Gaza dari kota Yafa setelah militer Imperialis Israel menduduki kota tersebut pada tahun 1948, yang kemudian tinggal menetap di Kamp Pengungsi Asy Syathi’. Shalah adalah anak bungsu dengan delapan saudara perempuan, dua meninggal.
Pada tahun 1958, pada saat umur Shalah menginjak lima tahun, dia masuk sekolah dasar yang berada di bawah lembaga bantuan pengungsi Palestina di Beit Hanun. Di kota yang sama dia menyelesaikan pendidikan menengahnya. Memperoleh ijazah pendidikan umum di SMU Palestina di kota Gaza dengan nilai istimewa setelah sebelumnya sempat belajar di SMU di Yafa. Selepas SMU Shalah diterima di fakultas kedokteran di Turki juga tehnik di Rusia, tapi kondisi ekonomi yang sulit membuatnya urung berangkat ke luar negeri.
Akhirnya Shalah melanjutkan pendidikan S1-nya di Sekolah Tinggi Pengabdian Masyarakat di Iskandariah. Memasuki tahun ketiga, Shalah mulai memiliki komitmen Islam yang tinggi dan oleh karena itu, begitu pulang dari Mesir, dia langsung merintis proyek dakwah Islam di Jalur Gaza.
Selanjutnya bekerja sebagai peneliti sosial kemasyarakatan di kota el ‘Arisy di gurun Sinai dan Shalah ditunjuk sebagai pengawas urusan sosial kemasyarakatan di el Arisy. Setelah pihak Mesir menuntut pengembalian wilayah el ‘Arisy dari Israel pada tahun 1979, Shalah pindah bermukim di Beit Hanun. Selanjutnya di Gaza, Shalah menerima jabatan sebagai pengawas urusan sosial kemasyarakatan untuk wilayah Jalur Gaza.
Pada awal tahun 1982, Shalah melepaskan jabatannya dalam urusan sosial kemasyarakatan dan berpindah ke departemen urusan kemahasiswaan di Universitas Islam di kota Gaza.
Pada tahun 1984, Shalah ditangkap rezim Imperialis Israel karena aktivitasnya dicurigai melawan pendudukan Zionis Israel. Namun dia menolak semua tuduhan, dan pihak rezim Imperialis Israel tidak bisa membuktikan tuduhannya. Akhirnya pihak Israel menerbitkan putusan tuduhan berdasarkan undang-undang tahun 1949 dan Shalah divonis hukuman dua tahun penjara.
Setelah keluar penjara, pada tahun 1986, Shalah bekerja sebagai kepala urusan kemahasiswaan di Universitas Islam Gaza sampai akhirnya pihak rezim Imperialis Israel menutup Universitas tersebut, dalam upaya menghentikan gerakan Intifadhah Palestina yang meletus pada tahun 1987. Namun, Syaikh Shalah Syahadah melanjutkan pekerjaannya di universitas tersebut sampai kemudian ditangkap pada 18 Agustus 1988. Penyidikan terus berlanjut hingga Mei 1989 di penjara as Saraya, kemudian berpindah dari sel penyidikan ke ruang tahanan. Setelah para penyidik dan intelijen Imperialis Israel gagal mengorek informasi darinya, akhirnya pihak Israel memutuskan penghentian penyidikan atas dirinya. Pada bulan Mei itulah terjadi aksi penangkapan secara besar-besaran di barisan Gerakan Perlawanan Islam Hamas. Akhirnya pada 14 Mei 1989, beliau kembali menjalani penyidikan setelah diketahui sebagai orang yang bertanggungjawab atas gerakan sel militer Hamas, penyidikan berlangsung hingga bulan November 1989.
Dengan begitu, beliau menjalani penyidikan sekitar satu tahun lebih. Tuduhan utama yang diarahkan kepadanya adalah sebagai orang yang bertanggungjawab atas gerakan sel militer Gerakan Perlawanan Islam Hamas, mengeluarkan perintah penculikan atas dua orang serdadu Israel (Sebortz dan Se’don) serta keterlibatannya sebagai pemimpin Hamas dan Biro Penerangan di wilayah utara. Atas semua tuduhan itu, akhirnya beliau divonis hukuman sepuluh tahun penjara dengan tuduhan sebagai penanggungjawab gerakan sel militer Hamas dan Biro Penerangan di wilayah utara, ditambah enam bulan penjara pengganti denda yang ditolak Syaikh untuk membayarnya kepada pihak Imperialis Israel.
Setelah menjalani masa tahanan, selama 20 bulan kemudian Shalah menjalani masa percobaan pelepasan bersyarat (probation) dan, alhamdulillah, dilepaskan pada 14 Mei 2002.
Syaikh Salah Syahadah adalah pendiri sayap militer pertama dari Gerakan Perlawanan Islam Hamas, yang dikenal dengan nama ”al mujahidunal filistiniyun”. Pihak Imperialis Israel mengarahkan tuduhan kepadanya sebagai tokoh yang membentuk sel-sel militer dan melatih anggotanya menggunakan persenjataan dan juga mengeluarkan perintah-perintah penyerangan ke target-target militer Imperialis Israel.
Mujahid Abu Musthafa Syahadah menikah pada tahun 1976. Saat masuk penjara beliau telah dikarunia enam anak perempuan. Yang terakhir lahir saat beliau ditangkap, sementara yang paling tua berumur sepuluh tahun. Saat keluar dari penjara – keluar dari penjara rezim Imperialis Israel pada tanggal 13 Mei 2000 setelah mendekam di dalamnya selama 10 tahun 20 bulan dan menikah lagi pada tanggal 12 Mei 2002 – beliau juga telah dikaruniai enam orang cucu.
Asy Syahid Shalah Shahadah pernah mendapatkan medali di bidang olah raga taekwondo sewaktu studi di Iskandariayah dan punya hobi angkat besi semasa SMU.


Asy Syahid Syeikh Shalah Syahadah Mentarbiyah Pemuda dengan Kekuatan dan Cinta (2)

Syaikh Ahmad Yasin: Dia Sebaik-baik Pemimpin dan Prajurit

Pendiri dan pemimpin umum Brigade Izzuddin al Qassam, ini adalah inovator pertama aksi penyerangan pemukiman Yahudi, beliau lah yang mengembangkan persenjataan dari mortir dan senjata penghancur tank hingga meriam dan rudal. Sampai kemudian menjadi buron nomor wahid dari pihak Imperialis Israel. Rencana aksi pembunuhan terhadap beliaupun atas instruksi perdana menteri Imperialis Israel, sehingga jelas bahwa beliau adalah orang buruan negara Zionis Israel.
Dan akhirnya, beliau menemui syahid lewat aksi pembantaian biadab yang dipentaskan oleh rezim Imperialis Israel di kota Gaza pada 22 Juli 2002, yang menelan korban 15 orang syuhada’ dan sebagian besar korbannya adalah wanita dan anak-anak. Demikianlah, tokoh perlawanan yang paling ditakuti serdadu-serdadu Imperialis Israel menjumpai Rabbnya, setelah 20 tahun menggerakkan gelombang jihad dan perlawanan lewat jalur militer. Sejak mudanya, beliau memang sudah punya kepedulian tentang perjuangan.
Belum genap usianya 15 tahun, beliau pun sudah mulai memberikan tumpangan dan perlindungan kepada para pejuang yang diburu dan dikejar-kejar baik oleh militer Imperialis Israel maupun oleh pihak ”Pemerintah Palestina” sendiri. Beliau selalu membekali mereka dengan makanan dan minuman tanpa sepengetahuan orang tuanya yang selalu khawatir puteranya terlibat dalam kancah perlawanan. Ayahnya takut kehilangan putera-satu-satunya setelah menunggunya selama 15 tahun. Dia ingin selamat bersama puteranya, untuk kemudian pindah ke Kamp Pengungsi Asy Syati’. Semasa remaja, beliaupun sering menghadiri acara-acara masjid dan bergabung dengan majlis pengajian yang disampaikan oleh Syaikh Ahmad Yasin. Dari beliaulah, Shalah muda memiliki dasar keislaman dan kemudian menumbuhkan kecintaannya pada tanah kelahirannya.
Namun ketika ayahnya mengetahui, tak ada jalan lain bagi anaknya kecuali harus terlibat dalam jihad dan perlawanan, maka sang ayahandapun membawanya kembali ke Beit Hanun. Kemudian dengan terpaksa dia sekolahkan puteranya di Iskandariyah agar jauh dari hiruk pikuk jihad dan perlawanan. Namun, yang terjadi adalah hal yang sebaliknya. Di Iskandariyah, Shalah muda bertemu dengan para pemuda Palestina yang tergabung dalam Gerakan al Ikhwan al Muslimin, terutama Dr. Ahmad el Milh. Itulah awal sebuah kehidupan jihad yang dialami Shalah muda.
Sejak muda, beliau sudah mencintai olah raga berat, termasuk angkat besi dan taekwondo. Sambil berseloroh beliau mengatakan,”Aku takut ketika menyalami seseorang, kemudian aku remukkan tangannya sementara aku tidak merasakan apa-apa.” Kekuatan Syaikh Shalah memang tidak terletak pada kekuatan badannya, tetapi tempaan pengalaman jihad dan kedalaman spiritual adalah hal utama yang membentuknya sebagai orang tangguh. Oleh karena itu, berbagai penderitaan dan kerasnya kehidupan penjara beliau hadapi dengan keceriaan. Saat dalam penjara, baginya waktu begitu cepat berlalu. Oleh sebab itu, beliau selalu ingin memanfaatkan setiap detik yang beliau lewati dalam penjara.
Begitulah yang selalu diungkapkan oleh para mujahidin yang sempat berjumpa beliau dalam penjara. ”Sehari dalam sel bagaikan sejam dalam kehidupan bebas,” selorohnya kepada para mujahidin lainnya. Setelah shalat subuh, biasanya beliau muraja’ah (mengulang hafalan) al Qur’an dan dzikir, kemudian memakai pakaian olah raga dan mengajak ikhwan lain ikut serta berolah raga yang biasanya berlangsung sekitar satu jam. Beliau selalu menjadi penutan para pemuda dari berbagai faksi perlawanan yang berada di penjara Imperialis Israel.
Siapapun yang pernah berjumpa dengan beliau akan merasakan begitu manisnya persaudaraan. Demikianlah ungkap Dr. Abdul Aziz Rantisee, salah seorang pemimpin Hamas di Jalur Gaza yang pernah hidup dalam penjara bersama singa Palestina ini. ”Tahun-tahun bersama Syaikh Shalah adalah saat yang paling manis sepanjang kehidupanku di dalam penjara Israel pada tahun 1988. Kemudian aku berjumpa kembali dengan beliau pada tahun 1995. Beliau adalah guru bagi para tahanan, beliaulah yang memegang tanggungjawab melatih para pemuda di dalam penjara setiap pagi. Beliau biasa memberikan latihan kepada mereka dengan olahraga-olahraga berat. Sampai-sampai pihak manajemen penjara menegurnya beberapa kali dan menuduhnya telah memberikan latihan militer kepada para tahanan.
Selepas istirahat, beliau langsung memberikan santapan ilmu (tsaqafah) kepada para tahanan sebagai sarapan pagi, yang dihadiri oleh seluruh tahanan dari berbagai faksi perlawanan. Sementara bagi para tahanan yang ingin meneguk dan mendulang keberanian dan kepemimpinan, beliau menyediakan waktu dalam majlis khusus yang membahas tentang as shihah an nafsiyah (kesehatan jiwa).”
Selebihnya, sepanjang hari beliau habiskan untuk mengkaji buku-buku yang sangat berharga di perpustakaan pribadi beliau di penjara. Yang mencakup berbagai disiplin ilmu; kedokteran, sosial kemasyarakatan, psikologi dan buku-buku keislaman. Malam harinya, beliau mendengarkan berita, kemudian mengadakan majlis ilmu dan berdiskusi dengan para tahanan lainnya seputar perkembangan belantara politik. Lantas kembali menyaksikan program-program sosial politik atau film-film detektif, terutama yang berasal dari Inggris. Dari situ kemudian beliau menulis beberapa catatan seputar isi film tersebut, kadang beliau mengumpulkan tahanan lainnya untuk diajari menulis catatan sampai dia mampu menganalisis dan bertambah terus kemampuan analisisnya dalam melihat berbagai peristiwa.
”Dia itu sebaik-baik pemimpin dan prajurit,” ungkap pendiri dan tokoh spiritual Gerakan Perlawanan Islam Hamas, Syaikh Amad Yasin menggambarkan sifat yang dimiliki Syaikh Shalah Syahadah. ”Sejak Shalah Syahadah berbai’at kepada Gerakan al Ikhwan al Muslimin pada tahun 1982, dia ditugaskan sebagai penanggungjawab atas wilayah Jalur Gaza Utara. Dia adalah orang yang sangat cinta dengan pekerjaannya, selalu siap berkorban demi perjuangan. Disamping itu, dia memiliki pribadi kepemimpinan (leadership), sosial kemasyarakatan dan manajerial.”
Shalah Syahadah memegang tanggungjawab di sayap militer Hamas pada tahun 1988. Dalam dua tahun saja dia berhasil mendirikan sel militer Brigade Izzuddin al Qassam. Selama itu dia telah mampu mencetak kader-kader yang siap menjalankan tugasnya di lapangan saat dia tinggalkan selama mendekam dalam penjara Imperialis Israel.
Menurut Dr. Ranteesi, Syaikh Shalah memang beda dari yang lain, ”Syahadah mampu merelisasikan program-program yang tidak bisa dilakukan oleh orang lain selama bertahun-tahun; beliau berhasil mengembangkan sayap militer Hamas baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Beliau mampu merangkul dalam jumlah besar pemuda Palestina, kemudian melatih dan mempersiapkan mereka untuk beraksi. Dalam dua tahun saja, dia telah mampu membuat pabrik militer sederhana mulai dari mortir dan senjata penghancur tank hingga meriam dan rudal. Beliau juga inovator pertama yang merancang aksi-aksi penyerangan pemukiman Yahudi. Dan akhirnya merubah sel militer yang bersifat rahasia menjadi sebuah ”Gerakan”.
Karenanya, Ranteesi melihat kesyahidan pemimpin al Qassam, Shalah Syahadah, ini akan meninggalkan jarak generasi yang cukup besar dalam Gerakan. Namun demikian, menurut Ranteesi, Shalah Syahadah memiliki keistimewaan dalam memberikan kesempatan kepada para pemuda untuk berkreativitas dan menggali pengalaman. Inilah yang akan membuat Brigade Izzuddin al Qassam memiliki masa depan di masa mendatang.
Sebagai seorang pemimpin dan sekaligus bapak bagi anak buahnya, Syaikh Shalah Syahadah tidak bisa melupakan begitu saja persoalan tahanan ataupun tawanan; tak seharipun beliau mengabaikan dan melupakan. Begitu beliau keluar dari penjara, beliau kembali menghidupkan dan menggerakkan kembali Yayasan An Nur. Lewat lembaga ini, beliau memberikan berbagai bantuan kepada keluarga para tahanan dan tawanan serta terus memantau hal-hal yang berkenaan dengan urusan para tahanan di dalam penjara. Di lembaga yang beliau dirikan sejak tahun 1996 ini, beliau membuat program-program yang langsung berkenaan dengan kebutuhan keluarga para tahanan, membantu para aktivis sosial untuk memantau anak-anak dan isteri-isteri para tahanan serta memberikan penyuluhan keagamaan kepada mereka. Menyelenggarakan kegiatan-kegiatan keilmuan dan penyegaran lewat mukhaiyam (kemah) maupun wisata. Disamping itu, lembaga juga terus memantau keluarga para syuhada’ dan memberikan bantuan sosial kepada mereka.

Asy Syahid Syeikh Shalah Syahadah Mentarbiyah Pemuda dengan Kekuatan dan Cinta (3)


Syaikh Jamal Abul Haija: Tak Mau Berhenti Sebelum Menggapai Syahid
Aksi pembunuhan atas pendiri dan pemimpim umum Brigade Izzuddin al Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam Hamas, Syaikh Shalah Syahadah, pada hari Senin 22 Juli 2002 lalu menimbulkan ledakan perasaan dan ungkapan dari lubuk hati para pemimpin Hamas dan anggotanya yang berpengalaman di medan jihad dan kenal dekat dengan beliau, baik dalam amal dakwah dan lainnya atau saat ditahan di sel-sel rezim Imperialis Israel.
Dari sekian banyak tokoh Hamas yang mengenal Syaikh Shalah Syahadah dari dekat adalah Syaikh Jamal Abul Haija, pemimpin Gerakan Perlawanan Islam Hamas di Jenin yang sekarang menjadi target utama militer Imperialis Israel untuk dihabisi. Syaikh Jamal Abul Haija adalah orang ketiga dari tiga tokoh Hamas yang ditahan dalam satu sel di Penjara Temoned pada tahun 1998 dan satunya lagi adalah Syaikh asy Syahid Aiman Dharaghamah.
Dengan menyitir firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat al Ahzab (33) ayat 23, ”Di antara orang-orang mu'min itu ada para rijal (orang-orang) yang (jujur) menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merobah (janjinya),” dan dengan tidak bermaksud mendahului kehendak Allah untuk memberikan rekomendari perilaku baik saudara seperjuangannya, Syaikh Jamal Abul Haija menggolongkan Syaikh Shalah satu di antara rijal (orang-orang) yang disebutkan oleh Allah di ayat ini. ”Dia adalah satu di antara mereka para rijal yang mengukir kejujuran janjinya di dalam hidup mereka, setelah membelah jalan untuk berdakwah di jalan Allah, dengan berbagai rintangan dan hambatan. Selalu siap siaga penuh untuk membayar pajak keteguhan di jalan dakwah, mempersonifikasikan (tajsid) simbol-simbol dakwah menjadi realita yang hidup bagi kehidupan.
Sangat mudah, memang, kerongkongan meneriakkan yel-yel perjuangan; al jihaadu sabiilunaa, wal mautu fii sabiilillaah asmaa amaaniinaa (jihad adalah jalan kami dan mati syahid di jalan Allah adalah cita kami tertinggi), namun bukanlah hal yang gampang mempersonifikasikan (tajsid) kata-kata itu ke dalam realita praktis. Kecuali bagi mereka yang telah subur imannya dan gandrung dengan jihad dan mereka yang telah digembleng hatinya oleh Allah swt.
Kami merasa mendapat kehormtan berjumpa dan menemani Mujahid kita ini di dalam sel-sel tahanan rezim Imperialis Israel. Dalam pekat sel Telmoned pada tahun 1998, aku bersama pemimpin sekaligus murabbi kami yang mulia Syaikh Shalah Syahadah dikurung dalam satu sel. Sungguh, sisa umur yang paling berharga dan terindah adalah saat bertemu dengan para mujahidin dan dapat hidup menyertai bersama mereka. Bersamanya, kehidupan terasa manis, hidup terasa enak dan indah meski dalam pekat gulitanya penjara serta mengalami tindak kebiadaban dan kebuasan para penjajah durjana. Sungguh benar apa yang diucapkan Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu ketika dia mengatakan, ”Sekiranya bukan karena tiga hal, tentulah aku tidak mencintai hidup: disebutkan salah satunya adalah duduk bersama menyertai ikhwah (saudara) di jalan Allah, mereka yang selalu memilih kata-kata terbaik sebagaimana mereka memilih korma yang terbaik dan berkualitas.”
Aku tidak berlebihan (mubalaghah), sungguh, waktu terasa lewat begitu cepat tanpa disadari, meski begitu pahit dan getirnya situasi penjara; sulit dalam keterasingan. Ketika itu jumlah kami tidak lebih dari jumlah jari tangan, di antara kami ada al akh Asy Syahid Aiman Dharaghimah, mujahid yang sangat kami cintai dari gerakan Jihad Islam, yang berguru dan menjadi mutarabbi (binaan) dalam masalah dakwah kepada Syaikh Shalah Syahadah, menghafal Qur’an di luar kepala dari beliau. Beliau, Asy Syahid Aiman Dharaghimah, adalah barisan orang-orang yang memiliki sifat yang kusebut tadi. Dialah sebaik-baik murid bagi Syaikh Shalah, manisnya ukhuwah islamiyah benar-benar telah menghimpun kami di jalan Allah.
Kehidupan sang murabbi, Syaikh Shalah, di dalam penjara merepresentasikan ungkapan Imam Ibnu Taimiyah, rahimahullah, ”Pemenjaraanku adalah khulwah-ku (menyendiri untuk beribadah) bersama Allah.” Aku tidak pernah melihatnya kecuali sedang membaca Kitabullah al Qur’an, kitab tafsir atau buku-buku tsaqafah islamiyah, atau kalau tidak beliau pasti berdiri menegakkan shalat, mutabattil di hadapan Allah: meninggalkan kehidupan duniawi untuk beribadah kepada Allah. Beliau banyak menunaikan shalat dan puasa nawafil (sunnah), sisa waktunya lebih banyak beliau habiskan untuk berjalan bersama Asy Syahid Aiman, bersama-sama melakukan muraja’ah (mengulang-ulang hafalan) Kitabullah. Meski begitu beliau masih punya kegiatan harian, berupa latihan dan olahraga untuk menjaga kecekatan dan ketangkasan badannya, sambil terus mengulang-ulang sabda al Habib Rasulullah saw., al mukminul qawiy khairun wa ahabbu ilallaahi minal mukmin adh dha’iif: seorang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah. Majlis kami yang merupakan tempat bertukar pikiran, tidak pernah sepi dari pertanyaan beliau tentang saudara-saudara kami di luar penjara, tentang kondisi mereka dan keadaan sulit yang mengepung mereka, meski masa beliau dengan mereka cukup jauh, karena saking lamanya beliau dalam penjara, pengasingan dan pengisolasian. Lebih dari dua pertiga masa tahanannya, beliau habiskan dalam pengisolasian sendiri. Karena pihak intelijen rezim Imperialis Israel melarangnya hidup bersama para tahanan lainnya, khawatir kalau beliau melatih dan menggembleng mereka lebih militan.
Sesungguhnya, beliau benar-benar terbakar oleh kerinduan untuk keluar dari penjara. Bukan karena sekadar merindukan kehidupan dan kebebasan, namun beliau benar-benar rindu untuk kembali menggempur Imperialis Israel dan kembali melakukan perannya dalam jihad dan perlawanan, yang terus berkobar memenuhi hati dan cintanya. Sampai suatu ketika aku katakan kepadanya, ”Wahai Abu Mushthafa (Syaikh Shalah Syahadah), sungguh peran Antum telah usai dalam jihad dan perlawanan menggempur musuh. Hari ini adalah giliran peran murid-murid Antum yang kemudian, seperti Muhammad Dhaif, Adnan el Ghoul, Awadh el Sulami, Hamdi Neshiyo dan yang lainnya. Usia Anda telah lanjut, lama dalam perjuangan. Masa pelarian dan buron dalam usia seperti Anda akan banyak mengalami kesulitan. Sudah waktunya Anda menyumbangkan perjuangan dalam bidang dakwah lewat jalur politik atau sosial kemasyarakatan, juga pendidikan dakwah.” Namun, saat itu beliau hanya tersenyum seraya berkata tentang jalan yang beliau pilih ini, ”Kami tidak akan berpaling dari jalan ini sampai kami bertemu Allah sebagai syuhada’.” Beliau pun terus mengulang-uang firman Allah subhanahu wata’ala dalam surat al Ahzab ayat 23,

مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللهَ عَلَيْهِ فَمِنهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً

”Di antara orang-orang mu'min itu ada rijal (orang-orang) yang menepati apa yang mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur.Dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu-nunggu dan mereka sedikitpun tidak merobah (janjinya).”

Beliau banyak melakukan upaya untuk membebaskan para tahanan dari penjara-penjara rezim Imperialis Israel, mereka yang selama ini menggantungkan kesulitan keluargannya – setelah kepada Allah – kepada perjuangan Syaikh Shalah. Karena beliaulah orang yang paling banyak merasakan pahit getirnya pemenjaraan mereka. Dan, semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya, beliaulah yang banyak menasehatiku selepas aku keluar dari penjara, agar aku selalu memperhatikan keluarga para tahanan dan memperhatikan kebutuhan mereka.
Adapun dalam perang Jenin, beliau terus menyertai kami detik demi detik. Dalam sebuah pembicaraan lewat telepon dengan tenang beliau berkata padaku, ”Penghuni kamp pengungsi yang pemberani ini telah mengangkat kepala kami tinggi-tinggi, bahkan kepala seluruh umat Islam. Betapa aku banyak berharap wahai Abul ‘Abd – Syaikh Jamal Abul Haija – untuk menjadi penghuni Kamp Pengungsi Jenin ini, alangkah indahnya sekiranya aku bersama kalian hari ini.” Beliau mengucapkan itu sedang disampingnya isteri beliau, Asy Syahidah Ummu Mushthafa, di mana beliau memperdengarkan suaranya yang sedang berdoa kepada Allah demi kemenangan mujahidin seperti kondisi suaminya.
Untaian kata, sebenarnya tidak mampu untuk mengungkapkan tentang pahlawan kuat dan tangguh, yang takkan lentur oleh terjangan tombak dan lembing, memiliki kharisma dan bermoral luhur, seorang yang mencurahkan hidupnya untuk mengabdi kepada Allah, seorang murabbi yang kaya akan tsaqafah dan kesabaran. Hatinya melimpah cinta untuk saudara-saudaranya, semangatnya hidup di mana-mana, cocok dengan yang diungkapkan Allah subhanahu wata’ala dalam surat al Qashash ayat 26, inna khaira man ista’jarta al qawiyul amin: Sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya. Semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepadamu, wahai Abu Mushthafa, pemimpin dan guru kami. Semoga Allah menempatkanmu bersama kami dan para mujahidin dalam kelapangan surga-Nya, di sisi pemimpin pertama kita al Mushthafa Muhammad saw. beserta para shahabatnya, para nabi dan shiddiqin. Dan merekalah sebaik-baik teman.


Asy Syahid Syeikh Shalah Syahadah Mentarbiyah Pemuda dengan Kekuatan dan Cinta (4)



Isteri Syeikh Shalah: Aku Bagaikan Hidup di Masa Shahabat
"Saya hidup dua bulan bagaikan hidup di masa Sahabat.” Dengan untaian kalimat inilah, Majedah Qunaetah, isteri Syeikh Mujahid Salah Shahadah, pemimpin dan pendiri Brigade Izzuddin al Qassam, sayap militer Gerakan Perlawanan Islam Hamas, menggambarkan kondisi dua bulan umur pernikahannya bersama Asy Syahid. Padahal hanya dua bulan saja, dia hidup bersama Asy Syahid dalam satu atap rumah yang kemudian berakhir dengan gugur syahidnya Syeikh Salah Syahadah pada tanggal 22 Juli 2002 lalu. Sebab, hidup berkeluarga bersama seorang mujahid, terlebih dia adalah orang nomer satu yang dicari-cari oleh pasukan keamanan Israel, tentulah penuh dengan berbagai was-was dan selalu diawasi oleh musuh-musuhnya yang mengancam jiwa sang mujahid sejati ini menjadi syahid.
Akan tetapi, apakah Syeikh Salah benar-benar telah menunaikan kewajiban sebagai seorang suami dengan semestinya? Lantas, sifat apa yang dimiliki beliau di luar kehidupan politik dan militer? Kemudian motivasi apa yang mendorong wanita muda ini mau dinikahi oleh sang mujahid besar itu? Uraian berikut barang kali akan sedikit menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas juga pertanyaan lainnya, dalam sebuah wawancara yang dilakukan Sabiroon.org dengan Majedah Qunaetah (28 tahun) di rumahnya di kampung Syeikh Ridwan, Jalur Gaza.

Pengantin Surga
Mengenai kisah pernikahannya dengan pejuang mujahid Syeikh Shalah, wanita muda Qunaetah bercerita, "Sebelumnya saya sama sekali belum pernah bertemu dengan Syeikh Shalah Syahadah, namun saya sering mendengar keberanian dan perjuangan beliau. Bahkan suatu ketika terbesit dalam benak saya untuk bisa bertemu dengan beliau walau hanya sekejap saja seperti kondisi para pemuda lainnya yang selalu berniat dan bermimpi hidup dalam jihad fisabilillah bersama beliau. Namun, sekonyong-konyong mimpi itu menjadi sebuah kenyataan ketika Syeikh Shalah mengutus beberapa orang mujahidin datang ke rumah orang tuaku, memintaku sebagai isteri beliau. Berita itu bagaikan petir di siang bolong buat keluargaku."
Ayahku tidak tahu harus berbuat apa, apakah menyerahkan masalah ini kepada puterinya sendiri atau menolak permintaan sang panglima jihad yang rela berkorban untuk tanah airnya. Kemudian ayah menyampaikan hal ini kepadaku. Pada mulanya, saya tidak memungkiri bahwa saya agak takut dan grogi, bagaimanan ini? Apa yang harus aku lakukan? Kenapa beliau harus memilih saya dibandingkan dengan wanita-wanita Gaza lainnya? Kemudian saya katakan kepada ayah – saya sendiri juga tidak tahu kenapa saya bisa berani melakukan hal semacam ini –, saya menerima permintaan nikah ini. Tak masalah, cukuplah bagiku menjadi pengantin di surga bersama beliau. Semoga Allah subhanahu wata’ala memuliakanku mati syahid bersama Syeikh Shalah di kemudian hari. Saya sendiri telah meminta kepada Syeikh Shalah untuk memberikan syafa'at bagiku, dan semoga saya menjadi pengantinnya sampai di surga nanti, insya Allah.

Berjalan di atas Shirath
Meski begitu berat beban tanggungjawab yang harus beliau tanggung dari dinas militer Gerakan Hamas di Tepi Barat dan Jalur Gaza, serta mengkoordinir antara kesatuan militer dan politik Hamas, Namun Syaikh Shalah selalu berupaya untuk memberikan hak istrinya. Beliau selalu berhati hati dalam setiap melangkah, beliau tempatkan kontrol Allah di depan kedua matanya; seakan dia berjalan di atas shirath, seakan surga dan neraka terpampang di depannya. Memeriksa kembali niatnya sebelum menggerakkan langkahnya. Beliau tidak memejamkan matanya kecuali setelah pukul tujuh pagi, tidur dua atau tiga jam kemudian bangun dan makan sarapan bersamaku. Beliau suka sekali membantuku dan melakukan sesuatu untuk meringankan kerjaku.
Setelah itu, barulah beliau duduk di meja kantorya untuk menerima pembicaraan lewat telepon atau membalas surat-surat yang datang kepada beliau, tentu saja sangat banyak, dari para pemuda Palestina yang merindukan syahadah (mati syahid), atau surat-surat lain yang berkenaan dengan berbagai aktifitas Gerakan. Kalau sudah merasa capek, beliau mendekatiku untuk sedikit menghilangkan kepenatan, memikatku dengan ungkapan kata yang indah tentang masa lalunya. Saya selalu berusaha untuk mengambil faedah dari apa yang beliau sampaikan, dari setiap kata yang beliau ucapkan. Karena, beliau selalu memperindah kata-katanya sebelum kata itu terungkapkan. Setiap kata yang beliau ucapkan bagaikan benih-benih yang tertaburkan untuk bersemi dan tumbuh kemudian meninggalkan bekas (pengaruh) yang positif (ijabi) bagi siapapun yang mendengarnya.
Dalam masalah amanah, beliau sangat hati-hati dengan harta milik Gerakan. Beliau catat sedetail dan seteliti mungkin, tidak pernah memandang remeh atau mengabaikan sesuatu walau kecil adanya. Suatu ketika ada sepucuk senjata tergeletak di lantai rumah, beliau sangat marah dan segera mengambilnya, ”barang siapa yang meremehkan hal yang sedikit sangat mungkin berlaku sembrono dan meremehkan yang banyak,” ungkap beliau selanjutnya.

Syahadah Lebih Mudah Daripada Minum Air

Menjelang petang, biasanya beliau pergi ke tepi pantai bersamaku atau ke tengah kota bersama dua orang pengawalnya. Sungguh, hidup beliau selalu diintai bahaya. Seandainya orang-orang Zionis Israel tahu di mana saja beliau berada, tentulah mereka sudah menggempur lokasi-lokasi di mana beliau berada, atau menurunkan para tentaranya untuk menculik beliau. Namun perasaan takut tidak pernah mendapatkan jalan melintas hadir dalam hatiku, seharipun. Karena beliau berinteraksi setiap hari denganku sebagaimana layaknya manusia biasa yang ingin hidup dan menghabiskan setiap detik dalam hidupnya untuk berkhidmat demi agama, Gerakan dan jihadnya. Ketika saya melarang beliau dan memintanya lebih berhati-hati, beliau justru berujar kepadaku, ”Saya ingin memanfaatkan setiap detik dalam hidupku. Hari-hariku sangatlah terbatas, saya ingin kelak berjumpa Rabbku, menghadap-Nya sementara Dia ridha kepadaku. Syahadah (mati syahid) bagiku sangat mudah, lebih mudah dari minum air yang diteguk salah seorang diantara kami.”
Tingkat pengamanan atas Syaikh Shalah memang sangat tinggi, senjata pribadinya tidak pernah berpisah dari dirinya. Bahkan di dalam rumah sekalipun, beliau selalu menyandang senjatanya dari kamar ke kamar lainnya. Beliau pernah berkata, ”Jangan disangka membunuhku itu mudah, aku bukanlah orang yang hendak dibunuh tapi tidak membela diri. Mereka (orang-orang Zionis Israel) tidak akan bisa membunuhku kecuali dengan kerugian besar.”
Dan demi keamanan pula, biasanya beliau tidak langsung naik mobil, tapi kadang-kadang berjalan sebentar kemudian baru naik mobil. Kadang-kadang kami naik mobil umum kemudian dalam jarak beberapa ratus meter kami turun, untuk memastikan beliau tidak diintai atau tidak diikuti oleh seseorang. Setelah turun kami naik mobil beliau yang terus berganti setiap sekian hari. Kadang-kadang beliau menyopir sendiri. Kami tidak pernah menetap atau tinggal lama di rumah yang kami kontrak lebih dari 7 hari, kadang-kadang kurang dari itu. Dalam dua bulan saja paling tidak kami berpindah rumah sampai lima kali.

Dengan Cinta Kami Mentarbiyah

Sambil mengusap air mata yang menganak sungai di kedua pipinya, Qunaetah menggambarkan betapa Syaikh Shalah adalah sebaik-baik pendamping, seorang suami teladan. Bila merasa jenuh dan capek, terutama setelah beraktifitas terus-terusan, malam bersambung siang, beliau biasa melakukan olah raga. Kalau sekiranya beliau mendapati pekerjaan rumah, beliau langsung melakukannya sendiri. Kadang aku melarangnya, cukuplah bagimu beban yang telah menggunung itu, kataku suatu ketika. Namun beliau malah membalas, ”Aku bukanlah suami yang lebih baik dari Rasulullah, sedangkan Rasulullah saja selalu membantu pekerjaan istri-istrinya. Biarkanlah aku menghidupkan dan menjalankan sunnah Rasulullah.” Atau, kadang kalu merasa jenuh dan capek beliau muraja’ah hafalan Qur’annya.
Aku banyak belajar dari beliau sifat-sifat keutamaan, aku banyak belajar dari beliau dalam hal ke-tawadhu’-an, tenang, mampu mengendalikan emosi, bertindak secara hikmat dan bijaksana. Beliau selalu bilang padaku, tenanglah, kendalikan diri jangan emosi. Ketika kutanyakan dari mana Anda mendapatkan pelajaran semacam itu, beliau hanya menjawab di penjara. ”Ketika itu serasa waktu berjalan begitu lambat, waktu itu saya berada dalam sebuah sel pekat gulita yang tingginya lebih rendah dari badanku, lebarnya tidak cukup untuk tidur, kepekatannya hingga aku tidak bias melihat tanganku sendiri, baunya begitu menyengat. Ketika musim dingin, dinginnya melebihi es dan salju. Ketika musim panas tiba, gerahnya luar biasa. Aku tidak tahu bedanya antara siang dan malam. Meski begitu, semuanya aku jalani seakan aku hidup tanpa merasakan sakit apapun, aku berusaha menyesuakan diri dan beradaptasi dengan semua kondisi yang ada, bahkan aku tinggal di dalamnya berbulan-bulan tanpa rasa sakit sedikitpun…
Sungguh, beliau seakan pribadi shahabat yang bangkit di abad 21 ini, jiwanya meluap cinta kasih dan toleransi. Beliau selalu mengatakan, kita harus mentarbiyah generasi mendatang (ajyal qadimah) dengan cinta dan rendah hati (tawadhu’). Apa yang beliau katakan tidaklah berlebihan, beliau sendiri orangnya sangat tawadhu’, tak seorangpun pernah dibuatnya marah. Beliau selalu siap mengorbankan jiwanya demi menghilangkan kemarahan siapapun. Karena itulah semboyan hidupnya, ”Aku ingin berjumpa dengan Rabbku, sementara dalam buku catatanku tidak ada setitik kedzaliman pun terhadap orang lain. Aku ingin menang dengan hati yang bersih, diridhai oleh Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.” Beliau memiliki daya pikat yang luar biasa, memikat rahasia hati dalam sekali pandang. Beliau sangat menghormati musuh, sebelum menghormati teman dekatnya.

Kapan Berjumpa Abu Bakar dan Umar?

Asy Syahid Shalah Syahadah, adalah seorang pemimpin yang selalu merindukan syahadah (mati syahid), selalu menunggu-nunggu saat kemenangan dengan syahadah, terutama ketika melepas para pelaku syahid, karena syahadah cita-citanya tertinggi dalam hidup ini. Bila mendengar nasyid-nasyid Islami, beliau bisa menangis bercucuran air mata sambil berkata padaku, aku telah banyak melepas para syuhada’ dari pemuda-pemuda pilihan Harakah Islamiyah, mereka telah mendahuluiku menuju syurga Allah. Hampir-hampir aku mencium kaki salah seorang di antara mereka saat aku melepaskannya, aku berharap dia mau menyampaikan salamku kepada dua shahabat Rasulullah SAW., Abu Bakar dan Umar – semoga Allah meridhai keduanya –, aku berharap semoga Allah mengumpulkan aku bersama anak-anakku para istisyhadiyun (para pelaku syahid) serta shahabat Rasulullah SAW.
Suatu malam, setelah melepas kepergian salah seorang istisyhadiyun, beliau pulang lewat tengah malam setelah pergi ke rumah keluarga seorang istisyhadiyun untuk menyampaikan kabar gembira akan kesyahidan salah seorang anggota keluarganya, sendirian. Kemudian beliau berkata padaku, ”Aku mencium bau misk menyebar semerbak di bajuku dan menyebar semerbak memenuhi ruangan.” Bau misk itupun serasa masih melekat di hidungnya sampai saat mandi dan terbit fajar.


Ayah Bagi Semua


Dari istri pertama, Syaikh Shalah Syahadah dikaruniai enam orang puteri. Padahal beliau berharap diberi rizki seorang anak yang menyandang namanya dan melanjutkan derap terjangnya, menjadi salah seorang istisyhadiyun dan mujahid yang keluar dari shulbinya, meski beliau memperlakukan semua pemuda layaknya anak sendiri dan beliau lebih suka dipanggil ayah atau abi. ”Beliau memperlakukan semua seakan dia adalah ayah mereka, bukan layaknya seorang pemimpin kepada anak buahnya. Tapi beliau menempatkan diri sebagai seorang murabbi (pembimbing) dan ayah, meski terhadap istri-istri saudara dan anak buahnya.

Ketika salah seorang rekan beliau dikaruniai seorang anak, dia berharap agar Syaikh Shalah menjadi ayahnya. Setelah sekilas memandang si bayi kemudian mengadzaninya, beliau lantas bertakbir agar kelak tumbuh sepertinya.
Sebelum menyampaikan kalimat terakhir, beliau sempat tersenyum tipis di kedua bibirnya. Semoga Allah merahmati beliau, waktu itu beliau merasa bahwa ajalnya telah dekat, bahwa dia akan syahid di rumah ini. Maka beliau pun menasehatiku agar aku segara mengemasi semua barang-barangku dari rumah. Beliau merasa tidak tenang, untuk tetap hidup hingga hari Selasa meninggalkan rumah tersebut.
Tiba-tiba Qunaetah diam terjeda kalimatnya, air matanya bercucuran menganak sungai dengan derasnya. Dengan suara terpatah-patah, Qunaetah melanjutkan ceritanya. Kemudian beliau berkata padaku, ”Wahai isteriku, ketahuilah bahwa anti adalah istri seorang pemimpin, Shalah Syahadah. Angkatlah kepalamu tinggi-tingi, jagalah namanya dan jadikan rumahnya terbuka buat siapa saja yang membutuhkan. Aku wasiatkan kepadamu, berbuat baiklah kepada puteri-puteriku.”
Demikianlah Qunaetah, satu diantara tamtsil wanita-wanita Palestina yang telah menceburkan dirinya dalam banjir bandang jihad dan perjuangan. Yang menjual kehidupan dunia fana ini demi menggapai cita-cita syahadah, atau bersama-sama dengan suami tercinta, seperti Shalah Syahadah, di surga firdaus yang Allah janjikan. Sebuah pengorbanan yang tidak sia-sia, mengarungi bahaya dalam kehidupan rumah tangga dari kejaran dan buruan serdadu-serdadu Imperialis Israel.

Wasiat Syaikh Shalah Syahadah

Bismillaahirahmaanirahiim,
Alhamdulillah, washalaatu wassalaamu ‘alaa sayyidinaa abul qaasim Muhammad bin Abdillah, wa ba’du:
Berikut ini adalah wasiat syar’i yang aku tujukan kepada siapa saja yang membacanya untuk merealisasikan apa yang ada di dalamnya:
Pertama, aku wasiatkan kepada kalian semua untuk bertaqwa kepada Allah dan jihad di jalan-Nya. Jadikanlah Palestina sebagai amanah di pundak-pundak kalian dan anak-cucu kalian sampai adzan berkumandang di pantai-pantai Yafa, Haifa dan ‘Asqalan.
Kedua, aku wasiatkan seluruh hartaku dan hutangku yang akan dirinci kemudian khusus untuk merealisasikan hukum Allah, yaitu dengan mengajukan secara terperinci mengenai apa saja yang berhubungan dengan harta dan hutangku kepada seorang ulama spesialis syariat dari kalangan kaum muslimin yang bertakwa.
Ketiga, saya tegaskan sekali lagi agar pewarisan dilaksanakan sesuai dengan syariat Allah.
Keempat, aku wasiatkan agar aku dimandikan oleh al akh Nazzar Rayyan dan jika beliau tidak bisa, maka oleh al akh Abdul Aziz el Kajk. Agar dia menutup auratku, menjaga rahasiaku – semoga Allah menjaganya –, agar salah seorang dari kedua akh tersebut menguburkanku.
Kelima, agar ta’ziah dilakukan di kuburku, saya tidak bertanggungjawab atas pemasangan nisan untukku; aku berlepas diri kepada Allah dari segala amal yang menyelisihi syariat Allah, seperti nihayah (jeritan tangis), memukul diri, merobek saku, mencabut rambut, atau memperbesar fotoku dan memasangnya di dinding.
Keenam, aku wasiatkan kepada keluargaku, isteri dan kerabatku agar berdoa untukku semoga Allah melimpahkan maghfirah dan perlindungan. Aku mohon maaf atas segala amal yang jelek yang sempat terlintas di benak mereka.
Ketujuh, kalau mungkin aku ingin kuburanku dekat dengan kuburan orang-orang shalih. Janganlah dibangun makamku. Jangan diplester (dikijing – bahasa Jawa) atau ditulis di atasnya asy syahid – meskipun aku mati syahid.
Wallahu a’lam.
Wassalaamu’alaikum warahmatullaahi wabarakaatuh.
Warsito (Sumber: al markaz al filistini lil i’lam/ sabiroon.org/ el jiel lish shahafah/ qassam.net)



;

1 komentar: